MAKALAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB EKONOMI ISLAM
"ASURANSI SYARIAH DAN KONVENSIONAL"
DisusunOleh :
1. Ramadhan Sukma P. (24)
2. Rica Ratnasari (25)
3. Rofi Nurfatimah (26)
4. Salsabila Rahma C. (27)
5. Shanti Nur A (28)
Kelas XI MIA 6
SMA NEGERI 2 WONOGIRI
2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR
BELAKANG
Seiring dengan kemajuan zaman yang
semakin melesat dan arus globalisasi yang sudah merasuk ke segala penjuru dunia
bahkan sudah sampai ke desa-desa. Hal itu ditandai dengan menjamurnya alat
teknologi dan gaya yang dibawa oleh pengaruhnya. Ada semacam peralihan sikap
dan moral dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dalam hal muamalah yang
disebabkan oleh kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang
terbatas memunculkan masalah-masalah baru yang harus diketahui hukumnya menurut
ajaran Islam.
kajian fiqih muamalah dewasa ini sudah
mengalami perkembangan. Masalah tersebut belum dikenal pada masa
mujtahid-mujtahid fiqih, sehingga hukumnya juga belum diketahui. Untuk itu
diperlukan pemahaman dan kajian yang mendalam terhadap masalah tersebut. Salah
satu masalah yang baru tersebut adalah masalah asuransi.
Masalah asuransi ini banyak sekali
menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian para ulama
berpendapat ada yang membolehkan, membolehkan sebagian dan mengharamkan praktek
yang lain, syubhat, bahkan ada yang berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam
segala bentuknya. Hal itu membuat umat dihadapkan dalam keadaan yang bimbang.
Indonesia merupakan masyarakat mayoritas Islam. Mereka semua membutuhkan
kepastian hukum asuransi menurut Islam.
Asuransi juga terbagi dalam dua
kategori. Ada asuransi kovensional dan ada juga asuransi syari’ah. Keduanya
mempunyai asal usul dan sistem yang berbeda. Mana diantara keduanya yang harus
dipilih oleh umat supaya mereka tidak terjebak dan terhindar dari
kesalahfahaman pendapat. Mereka menginginkan hidup bermuamalah susuai ajaran
Islam.
- Masalah
Pokok
Berdasarkan pada uraian di atas maka
masalah pokok yang dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana hukum
asuransi menurut Islam? Sebagai siswa itu merupakan tugas kita semua sebagai
generasi bangsa dan calon pemimpin umat. Sedangkan masalah yang lainnya adalah
bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah? Kedua
masalah tersebut menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.
- Tujuan dan
Kegunaan Penulisan
1)Mengkaji
masalah sebagai bahan kajian untuk dipikirkan oleh kita sebagai pelajar;
2)Bahan
renungan untuk dikaji lebih dalam dan dicarikan solusi yang tepat untuk
menyelesaikan masalah tersebut;
3)Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaranPendidikan
Agama Islam.
D.Sumber Utama
dalam Penulisan
Sumber utama
penulisan makalah ini adalah buku-buku yang membahas masalah asuransi. Selain
dari buku-buku masalah asuransi ada juga buku yang lain sebagai penunjang dan
lebih mengarahkan kearah sana. Media internet juga menjadi sarana yang membantu
untuk mengetahui lebih jauh lagi. Semua yang memuat masalah asuransi kami
mencoba untuk mencarinya sebagai pembanding.
BAB II
ASURANSI
A.Pengertian
Asuransi
Menurut pasal 246 Welboek van
Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan auransi
adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (nasabah) sebagai pengganti kerugian,
yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan
bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung
(biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk risiko kerugian
sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran,
kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau
kecelakaan lainnya dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang
ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.[2]
1.
PengertianAsuransi
(Konvensional)
Kata
asuransiberasaldaribahasabelanda, assurantie, yang dalam hokum
BelandadisebutVerzekering yang artinyapertanggungan. Dari
peristilahanassurantiekemudiantimbulistilahassuradeurbagipenanggungdangreassureerdebagitertanggung
2.
PengertianAsuransi (Syariah)
Dari definisi di atas dapat dipahami
bahwa asuransi memiliki tiga unsur, yaitu (1) pihak tertanggung yang membayar
uang premi kepada pihak penanggung, (2) pihak penanggung yang berjanji akan
membayar sejumlah uang kepada pihak yang tertanggung, dan (3) suatu peristiwa
yang semula belum jelas akan terjadi.
Berdasarkan pengertian asuransi
sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
a.Perjanjian
asuransi atau pertanggungan pada dasarnya adalah suatu perjanjian kerugian.
Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak
tertanggung menderita kerugian.
b.Perjanjian
asuransi atau pertanggungan adalah pertanggungan bersyarat. Kewajiban mengganti
rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu
atas nama diadakan pertanggungan itu terjadi.
c.Perjanjian
asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi
yang diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.
d.Kerugian yang
diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana
diadakan pertangungan.[3]
B.Macam-macam
Asuransi
Asuransi yang terdapat pada
negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi karena
bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya, berikut
ini macam-macam asuransi itu.
a.Asuransi
Timbal Balik
Maksud dengan asuransi timbal balik
adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud
meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat
kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi
iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah selanjutnya.
b.Asuransi
Dagang
Asuransi dagang ialah beberapa manusia
yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk
memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota kelompoknya yang telah
berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul
beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan
atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat.
c.Asuransi
Pemerintah
Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga
kerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian
yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah
menanggung kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan
asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan
kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi.
d.Asuransi atas
Bahaya yang Menimpa Badan
Adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada
asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata,
asuransi telinga, asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit
tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam
kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.[4]
e.Asuransi Jiwa
Asuransi jiwa adalah asuransi yang
bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang
disebabkan seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi
ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa ini, yaitu menjamin biaya hidup
anak atau keluarga yang ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia atau
untuk memenuhi keperluan hidupnya dan keluarganya, bila ditakdirkan usianya
lanjut sesudah masa kontrak berakhir.
f.Asuransi Kebakaran
Asuransi kebakaran bertujuan untuk
mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak
perusahaan asuransi menjamin risiko yang terjadi karena kebakaran. Oleh karena
itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara pemegang polis (pembeli
asuransi) dengan perusahaan asuransi. [5]
C.Pendapat
Ulama tentang Asuransi
Masalah asuransi dalam pandangan islam
termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin
karena tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara eksplisit. Para imam
mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan para
mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena
pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia
timur pada abad XIX M. Dunia barat sudah mengenal system asuransi sejak abad
XIV M, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d. IX
M.
Di kalangan ulama atau cendekiawan
muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitua:
a.Mengharamkan asuransi dalam segala
macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini
antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya fiqh al-Sunnah, Abdullah
al-Qalqili, Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya antara
lain:
·Asuransi pada
hakikatnya sama dengan judi;
·Mengandung
unsur tidak jelas dan tidak pasti;
·Mengandung
unsur riba;
·Mengandung
unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran
preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan;
·Premi-premi
yang telah dibayarkan
oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut
dikreditkan dan dibungakan);
·Asuransi
termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak
dengan uang tunai;
·Hidup dan
matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan.
b.Membolehkan semua asuransi dalam
prakteknya dewasa ini.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul
Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang
dikemukakannya sebagai berikut:
·Tidak ada nash
al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi
·Kedua pihak
yang berjanji dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul
tanggungjawab masing-masing;
·Asuransi tidak
merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan
kedua belah pihak;
·Asuransi
mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat
diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek
yang produktif dan untuk pembangunan;
·Asuransi
termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi
hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi
yang mengatur modal atas dasar bagi hasil;
·Asuransi
termasuk syirkah ta’awuniyah;
·Dianalogikan
atau diqiyaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;
·Operasi
asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;
·Asuransi
menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.
c.Membolehkan asuransi yang bersifat
sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.
Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad
Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang
bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman
asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan
pendapat pertama.
d.Menganggap bahwa asuransi bersifat
syubhat karena tidak ada dali-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan
ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi dikategorikan
syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati dalam
menghadapi asuransi . umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan
perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[6]
Bahkan menurut Yusuf al-Qardhawi sendiri bahwa dalam
bentuk asuransi jiwa jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas
berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad
perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling mengetahui,
namun kemanfaatannya itu tidak berbobot. Kerelaan dalam asuransi ini tidak bisa
dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut karena muamalah ini tidak
menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan
kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain,
sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.
Yusuf al-Qardhawi memberikan alternatif asuransi, yaitu
dengan kemungkinan terbukanya asuransi digolongkan sebagai yayasan dana bantuan
dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1.Setiap
anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan, harus
disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang
terkumpul diambil sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
2.Bila uang itu diputar harus
dijalankan menurut aturan syara’.
3.Tidak dibenarkan orang menyetorkan
sejumlah kecil uang dengan harapan mendapatkan imbalan yang berlipat apabila
terkena musibah. Akan tetapi, ia diberi uang jariyah sebagai ganti atas
kerugian itu atau sebagiannya menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.
4.Sumbangan sama dengan hibah, oleh
karena itu haram hukumnya ditarik kembali.[7]
C. RukundanSyaratAsuransiSyariah
·
Syarat-syaratdalamtransaksiadalahadanyapihak-pihak yang berakad,barang
yang di akaddanharga.
·
Rukunakadyaitushigat al-aqd (ijabqabul)
D. ManfaatAsuransiSyariah
Beriku tini
beberapa manfaat yang dapat dipetik menggunakan asuransiSyariah :
1. Tunbuhnya rasapersaudaraandan rasa
sepenanggungan di antaraanggota.
2. ImplementasidarianjuranRasulullah SAW
agar
umatislamsalingtolongmenolong.
3. Jauh dari bentuk-bentuk muamalat yang
dilarang syariat.
4. Secaraumujmdapatmemberikanperlindungan-perlindungandariresikokerugian yang
dideritasatupihak.
5. Jugameningkatkanefisiensi ,
karenatidakperlusecarakhususmengadakanpengamanandanpengawasanuntukmemeberikanperlindungan yang
memakanbanyaktenaga, waktudanbiaya.
6. Pemerataanbiayayaitucukuphanyadenganmengeluarkanbiaya yang
jumlahnyatertentudantidakmengganti/membayarsendirikerugian yang
timbul yang jumlahnyatidaktertentudantidakpasti.
7. Sebagaitabungan , karenajumlah
yang
dibayarpadapihakasuransiakandikembalikansaatterjadinyaperistiwaatauberhentinyaakad.
E.Perbedaan
Asuransi Syari’ah dan Konvensional
no
|
Prinsip
|
Asuransi
Konvensional
|
Asuransi
Syariah
|
1.
|
Konsep
|
Perjanjian
antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung. |
Sekumpulan
orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’. |
2.
|
Asal
Usul
|
Dari
masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional. |
Dari
Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan
oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah. |
3.
|
Sumber
Hukum
|
Bersumber
dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya. |
Bersumber
dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah. |
4.
|
“Maghrib”
(Maysir, Gharar, dan Riba’)
|
Tidak
sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah. |
Bersih
dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’. |
5.
|
DPS
(Dewan Pengawas Syariah)
|
Tidak
ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah. |
Ada,
yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah |
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah
dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
Perbedaan tersebut adalah:
- Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan
investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam
asuransi konvensional.
- Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah
berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan
jual beli
- Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan
bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional
memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
- Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan
hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi)
menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi
investasinya.
- Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak
mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional.
Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi
dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka
dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil
yang telah diniatkan untuk tabarru'.
- Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari
dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal
telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana
tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada
asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana
perusahaan.
- Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi
antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi
yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh
keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan keterangan diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa hukum daripada asuransi ialah masih dalam perbincangan para
ulama,
karena permasalahan halal haram asuransi sebelumnya tidak ada dalil ayat ataupun
hadis yang menyebutkannya secara detail. Namun, walaupun demikian kita bisa melihat
beberapa hasil ijtihad pendapat ulama yang menurut akal atau logika mendekati kebenaran,
misalnya, sepertipendapat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakanbahwa “asuransi dibolehkan/halalkan
apabila bersifat social dan dilarang/haramkan apabila pelaksanaannya bersifatkomersial”.
Hal ini dikarenakan bahwa jika asuransi dilaksanakan secara social maka tidak pihak
yang merasa dirugikan melainkan saling menguntungkan antara lain sebagai salah satu
tempat untuk berinvestasi. Sedangkan, jika asuransi dilaksanakan secara komersial
maka banyak pihak yang akan dirugikan dan hal ini dapat dikategorikan kedalam perjudian
yang dapat merugikan sebelah pihak.
Dan juga kita sebagai umat islam
yang berpegangteguh dan patuh terhadap al-Qur’an, Hadis dan juga parapemimpin
(ulama) yang taat kepada Allah SWT. Maka sepantasnya lah kita menghargai dan mengikuti
pendapat Ulama agar supaya kita tidak terombang-ambing oleh pendapat-pendapat selain
mereka yang dapat menjerumuskan kita kearah yang tidak benar (sesat).Dan
disamping itu, kita sebagaimanusia yang
diberikan akal dan pikiran, dengan akal tersebut kita dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, maka hendaklah kita selalu menggunakannya dalam setiap
kali menghadapi masalah.
DAFTAR PUSTAKA
1.Projodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta:
PT Munas, 1986.
2.Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi
dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
3.Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta:
TERAS, 2009.
4.Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002.
5.Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas
Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,
2008.
6.Program internet.www. Halal dan
haram asuransi.Com.
7.Program internet.www.
Perbedaanasuransisyari’ahdanasuransikonvensional.Com.
Komentar
Posting Komentar